Laut Nusantara

Informasi perikanan laut dan linkungan

Minggu, 30 September 2007

MENJAGA HIU DAN PARI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2040

MENJAGA HIU DAN PARI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2040
Dr. Priyanto Rahardjo, MSc.
Peneliti Senior pada Balai Riset Perikanan Laut.
E-mail : begawanlaut@yahoo.com

Ringkasan:
Hiu dan pari dari perairan laut Indonesia adalah bisnis besar yang tersembunyi. Bayangkan harga satu kilogram sirip mencapai 660 US$ di pasaran Asia, nilai ekspor produk ini mencapai 13 juta US$ setiap tahun. Jika bangsa Indonesia dapat memanfaatkannya secara arif dan bijaksana, sumberdaya ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan, menuju Indonesia yang maju, makmur, mandiri, dan berkeadilan.



Sumberdaya hiu dan pari di perairan laut nusantara merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia. Sumberdaya ini dapat diperbaharui (renewable resources), namun jika salah dalam memanfaatkannya dan sumberdaya ini terancam punah (kolap), maka pemulihannya akan memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal. Pemanfaatan secara arif dan bijaksana sangat diperlukan, agar sumberdaya ini dapat diwariskan secara berkesinambungan antar generasi.
Sifat biologi ikan hiu dan pari (elasmobranchii) yang tumbuh lamban, berumur panjang, matang seksual pada umur relatif tua dan hanya menghasilkan sedikit anak, sifat-sifat seperti itu membuat hiu dan pari sangat sensitif terhadap penangkapan berlebihan (FAO, 2000). Eksploitasi perikanan hiu dan pari di perairan Indonesia bersifat multi spesies dan multi gear. Mengingat harga komoditi perikanan hiu dan pari yang tinggi, maka banyak nelayan yang memburu ikan ini sebagai hasil tangkapan utama. Nelayan Indonesia hampir memanfaatkan seluruh bagian dari hiu dan pari, misalnya daging untuk konsumsi, sirip untuk komoditas ekspor, kulit untuk disamak, hati untuk diambil minyaknya, tulang untuk bahan lem atau bahkan sebagai bahan baku obat penghambat pertumbuhan sel ganas dalam tubuh manusia.
Tantangan terbesar bagi perikanan hiu dan pari Indonesia adalah bagaimana membuat model pengelolaan hiu dan pari secara berkelanjutan, yang mampu menjamin agar kelestarian sumberdaya laut ini dapat diwariskan secara berkesinambungan antar generasi sampai tiga puluh tahun kedepan. Sedangkan peluang pengelolaan terbaik untuk perikanan hiu dan pari adalah penerapan strategi pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Pemanfaatan perikanan hiu dan pari
FAO Newsroom (7 juni 2005) menjelaskan banyak penduduk miskin dunia bergantung dari ikan, tiga puluh delapan persen produk perikanan merupakan perdagangan internasional (nilainya US$60 billion), dan sumbangan dari negara berkembang yang mengekspor produk ikannya mencapai 55 % dari total (hiu dan pari merupakan koditi utama). Nilai ekspor produk perikanan dari negara berkembang jauh lebih tinggi dibandikan komoditas teh, kopi dan beras, apakah ini peluang atau resiko? Jawabannya adalah bagaimana menerapkan pengelolaan yang bertanggung jawab menjadi sangat penting (responsible management is so important).
Selanjutnya FAO Newsroom (5 Maret 2007) melaporkan bahwa perlu perhatian sangat serius terhadap kondisi sumberdaya perikanan laut. Hasil pemantauan FAO menunjukan bahwa 25 % sumberdaya perikanan laut sudah kelebihan tangkap (over exploited). Perhatian paling serius ditujukan pada ikan yang beruaya jauh dan merupakan stok bersama antar berbagai negara seperti hiu oseanik. Sebanyak 66 % sumberdaya ikan laut yang menjadi stok bersama berbagai negara sudah dalam kondisi kelebihan tangkap, bahkan cadangan stoknya di laut bebas sudah sangat menipis (depleted). Akhirnya secara umum FAO melaporkan bahwa dari 600 jenis ikan laut yang dieksploitasi di dunia dalam kondisi 3% (under exploited) ; 20 % (moderately exploited); 52 % (fully exploited); 17 % (over exploited); 7% (depleted); dan 1 % (recovering from depletion).
Pertemuan pertama kali dari lima organisasi manajemen perikanan regional (RFMO, Regional Fisheries Management Organisation) yang dihadiri IOTC, CCSBT, WCOFC, ICCAT dan IATTC pada Januari 2007 di Kobe, Jepang dengan tujuan membahas pentingnya peningkatan manajemen penangkapan dan perdagangan produk hasil laut. Hasil pertemuan secara umum menyoroti kegagalan anggota RFMO memenuhi kewajiban mereka sendiri, sampai saat ini Indonesia belum masuk anggota RFMO. Seperti yang telah ditetapkan masyarakat international, RFMO diharapkan mencegah eksploitasi yang berlebihan, pengkayaan kembali stok ikan yang telah menipis, atau melindungi ekosistem kelautan secara lebih luas. Isu sangat penting dari pertemuan ini adalah bagaimana mengurangi tangkapan sampingan yang berupa hiu pada penangkapan tuna secara regional. Kepedulian internasional terhadap hiu dan pari (elasmobranchii) diwujudkan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melalui pengembangan IPOA (International Plan of Action) mengenai hiu dan pari. Rencana tersebut mengharuskan negara-negara yang melakukan penangkapan hiu dan pari untuk melaksanakan pengkajian reguler terhadap sumberdaya ini, dan bila perlu mengambil langkah-langkah pengelolaan untuk melindungi spesies atau stok yang terancam keberadaannya (FAO, 2000). Namun ternyata hampir semua negara anggota RMFO gagal dalam menerapkan IPOA sharks (hiu dan pari).
Hiu dan pari adalah salah satu ikan dilaut yang sangat luar biasa. Hiu adalah perenang ulung jarak jauh dan merupakan predator tertinggi. Hiu dan pari yang sangat berharga ini di temukan sepanjang lautan Atlantik, Pasifik, Samudera Hindia dan lautan sekitarnya. Tetapi dunia perikanan hiu dan pari mengalami sejumlah persoalan umum mendesak yang mengancam keberadaan, kelestarian mereka dan membahayakan ekosistem yang lebih luas. Para ilmuwan terbaik dunia memperingatkan, tanpa tindakan tegas, kebanyakan populasi hiu dan pari akan menurun pada tingkat yang membahayakan dalam satu dekade. Hiu dan pari adalah bisnis besar bagi bangsa Indonesia, bayangkan harga sirip mencapai 660 US$ per kilogram di pasaran Asia. Perairan laut Indonesia merupakan negara yang paling banyak menangkap hiu dan pari (100 000 ton) dengan nilai ekspor produk hiu sebesar US $ 13 juta (FAO, 2000). Nelayan hampir memanfaatkan seluruh bagian dari hiu dan pari, misalnya daging untuk konsumsi, sirip untuk komoditas ekspor, kulit untuk disamak, tulang untuk bahan lem, bahkan sebagai penghambat pertumbuhan sel ganas dalam tubuh manusia .
Pemanfaatan sumberdaya perikanan hiu dan pari di perairan Indonesia sudah berlangsung secara turun temurun, mulai dari zaman Majapahit, penjajahan Belanda, Jepang dan sampai sekarang (setelah era kemerdekaan Indonesia). Catatan resmi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dalam bentuk statistik perikanan dimulai pada tahun 1975. Walaupun masih banyak kekurangannya, namun statistik ini sangat bermanfaat sebagai langkah awal dalam pengelolaan perikanan laut. Statistik perikanan Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir (1975–2005) menunjukkan produksi ikan hiu dan pari nasional mengalami fluktuasi (antara 47000 ton sampai 105.000 ton), dan hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 1999 (105.000.ton). Namun secara umum laju tangkapan hiu dan pari mengalami penurunan dari tahun-ke tahun. Sejak tahun 1975 sampai sekarang, statistik perikanan Indonesia mencatat hiu dan pari hanya dalam dua jenis, sedangkan kenyataanya jumlah jenis hiu dan pari mencapai 197 spesies (30 jenis telah dieksploitasi secara intensif dan komersil). Kegiatan penangkapan hiu dan pari berlangsung sepanjang tahun. Musim penangkapan secara spesifik belum dapat di tentukan kecuali berdasarkan data bulanan produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Sebagai contoh, puncak penangkapan hiu di Indonesia barat adalah bulan April.
Perikanan hiu dan pari terdiri dari beragam jenis ikan (multi species) dan ditangkap oleh berbagai alat tangkap (multi gear) di perairan Indonesia. Kegiatan pemanfaatan (penangkapan) sumberdaya hiu dan pari (elasmobrancii) di perairan Indonesia sudah berkembang sejak tahun 1970. Walaupun hiu dan pari adalah hasil tangkapan sampingan dari berbagai alat tangkap, namun tingkat pemanfaatannya sudah intensif. Hal ini terlihat dari laju hasil tangkapan per unit kapal, dan penurunan produksi (Statistik Perikanan Indonesia 1975 - 2005). Selain itu, telah terjadi penurunan keanekaragaman sumberdaya yang ditandai dengan hilangnya jenis Pristidae. Jenis alat tangkap yang menangkap ikan hiu dan pari dalam jumlah yang banyak adalah jaring liongbun, jaring insang dasar mata kecil, jaring trammel, jaring arad, jaring insang hanyut tuna, pancing senggol, rawai dasar, rawai tuna, dan bubu.
Sampai saat ini, pemanfaatan sumberdaya hiu dan pari di Indonesia baik untuk konsumen lokal maupun ekspor masih dalam bentuk sumber pangan manusia. Sedangkan arah pemanfaatan hasil perikanan laut di negara maju diperuntukan pada kesehatan, bahan baku farmasi (obat-obatan), kosmetika, suvenir dll. Perbedaan berbagai bentuk pemanfaatan produk perikanan laut ini jelas membuatnya memiliki nilai tambah yang lebih tinggi jika hanya digunakan sebagai sumber pangan manusia.
Potensi perikanan hiu dan pari
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia (1,9 juta Km2) tersebar pada sekitar 17.500 buah pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas (sekitar 5,8 juta km2). Panjang garis pantai yang mengelilingi daratan tersebut adalah sekitar 81.000 km, yang merupakan garis pantai tropis terpanjang didunia atau terpanjang kedua didunia setelah Kanada. Secara geografis laut Indonesia terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, antara benua Asia dan Australia, termasuk didalamnya paparan Sunda di bagian barat dan paparan Sahul di bagian timur. Sejak tahun 2000 laut kita dikenal dunia sebagai the coral triangle atau segitiga perairan karang yang diyakini menyimpan potensi sumberdaya (keanekaragaman) hayati tertinggi di dunia. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau masa air laut yang dipengaruhi dua Samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosisistem didalamnya. Potensi keanekaragaman hayati di wilayah lautan Indonesia, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik merupakan aset yang sangat berharga untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pengertian sederhana potensi keanekaragaman spesies dilaut adalah banyaknya jenis dan jumlah ikan di laut yang sering dikenal dengan potensi perikanan laut. Sebagai contoh, untuk negara ASEAN yang memiliki jumlah spesies ikan terbanyak adalah Indonesia (3213 spesies), Filipina (2824 spesies), Malaysia (1102 spesies), selangkan lima negara ASEAN lainnya memiliki jumlah spesies ikan dibawah 1000 jenis. Jumlah spesies ikan hiu dan pari diseluruh perairan Indonesia diperkirakan mencapai 197 jenis, selanjutnya sebanyak 142 jenis telah dikenali secara pasti, dan tiga puluh jenis telah dieksploitasi secara komersil. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah potensi perikanan hiu dan pari Indonesia turun dari waktu kewaktu karena tekanan eksploitasi penangkapan? Belum banyak kajian tentang potensi perikanan hiu dan pari Indonesia, namun demikian jika dilihat dari data menyeluruh selama 30 tahun kebelakang, dapat disimpulkan bahwa potensi perikanan laut Indonesia tidak berubah. Artinya tekanan eksploitasi penangkapan ikan dan faktor lainnya masih seimbang dengan daya dukung sumberdaya perikanan hiu dan pari. Hal ini disebabkan oleh mayoritas nelayan kita yang mengeksploitasinya masih mengikuti kaidah penangkapan ikan yang bertanggung jawab (code of conduct of resposible fishing, FAO). Walaupun ada sebahagian kecil nelayan kita yang menggunakan alat yang merusak lingkungan.
Pada tahun 1997 para ahli perikanan laut Indonesia bersepakat mendirikan Komisi Nasional Stok Assessment/KNSA (penulis merupakan salah seorang penggagas, dan duduk sebagai sekretaris 1997-1999) dengan tujuan untuk mengevaluasi potensi perikanan laut secara berkala demi menjaga kelestarian sumberdayanya. Untuk menyederhanakan dan memudahkan informasi, potensi perikanan laut dapat dibagi dalam sembilan wilayah oleh team KNSA (Gambar 1). Pembagian ini tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek potensi keanekaragaman hayati di wilayah laut Indonesia, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik. Kondisi potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan hiu dan pari saat ini menunjukan bahwa sebahagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. Wilayah yang telah di manfaatkan secara penuh umumnya pada daerah pantai oleh nelayan skala kecil dan menengah. Lokasi yang sudah dimanfaatkan secara berlebihan (over fishing) ternyata hanya 15 % dari keseluruhan wilayah yang tersedia. Sedangkan beberapa wilayah lainnya belum dimanfaatkan secara optimum (Tabel 1).
Peluang pengelolaan terbaik
Tantangan terbesar perikanan hiu dan pari saat ini sampai tiga puluh tahun mendatang (tahun 2040) adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya ini secara cerdas namun kelestariannya tetap terjaga, baik dalam bentuk spesies, ekosistem dan genetik. Mengingat sumberdaya perikanan hiu dan pari adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan potensinya sangat besar, maka jika kita dapat mengelola pemanfaatannya secara arif dan bijaksana, sumberdaya ini dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan, menuju Indonesia yang maju, makmur, mandiri, dan berkeadilan.
Ancaman kepunahan ternyata bukan hanya untuk cucut dan pari, tetapi juga jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ancaman ini serius untuk cucut dan pari, mengingat waktu pemulihan sumberdaya ini akan sangat panjang dan mahal (Musick, 1999). Berbagai dokumentasi tentang kasus kepunahan jenis cucut dan pari misalnya cucut jenis Lamna nasus di perairan Atlantik Utara (Anderson, 1990; Compana et al., 2001), cucut jenis Galeorhinus galius di California dan Australia, cucut botol (Squalus acanthias) di Laut Utara dan British Colombia (Holden, 1968; Ketchen, 1986; Hoff dan Musick, 1990), dan beberapa jenis cucut di pantai Timur Amerika (NMFS, 1999). Berbagai alasan penurunan sumberdaya cucut dan pari dari perikanan, mulai dari penurunan stok sampai kendala ekonomi atau pemasaran (Ketchen, 1986; Myklevoll, 1989; Bonfil, 1994). Pada umumnya pemulihan sumberdaya cucut dan pari memerlukan waktu yang panjang, sebagai gambaran perikanan cucut di perairan California yang tidak dapat pulih kembali setelah 50 tahun yang lalu mengalami kepunahan akibat penangkapan yang berlebihan (Musick, 2004).
Langkah sederhana adalah bagaimana memberi kesadaran pada masyarakat bahwa sumberdaya perikanan hiu dan pari kita memiliki nilai manfaat yang luar biasa, oleh karena itu menjadi tanggung jawab kita bersamam untukt menjaganya terutama ekosistemnya. Kerusakan ekosistem yang disebabkan berbagai kepentingan akan berdapak besar terhadap sumberdaya hiu dan pari yang ada didalamnya.
Peluang pengelolaan terbaik untuk perikanan hiu dan pari adalah penerapan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan hiu dan parit sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sebagai contoh: Untuk sumberdaya perikanan hiu dan pari yang hidup di pantai, tingkat pemanfaatan di tiap wilayah dapat dilakukan sampai tingkat pemanfaatan penuh (fully exploited). Namun untuk ikan hiu dan pari yang hidup pada berbagai perairan (pantai, perairan karang dan laut bebas) dan memiliki karaktersitik berumur panjang, laju pertumbuhan lambat dan beruaya jauh, pemanfaatan di tiap wilayah harus dilakukan hanya pada tingkat pemanfaatan sedang (moderate exploited). Sedangkan sumberdaya hiu pada perairan dalam (laut jeluk) tingkat pemanfaatanya sebaiknya hanya pada tingkat rendah (under exploited). Dengan menerapkan strategi ini, maka keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hiu dan pari dapat dilakukan sampai tahun 2040.
Akhirnya kami tutup dengan pepatah lama yang berbunyi “ sampai akhir zaman, budaya melayu tak akan hilang ditelan bumi” . Demikian juga untuk pepatah ikan hiu dan pari “ Walaupun diterjang gelombang tsunami, hiu dan pari tak akan hilang dari lautan ibu pertiwi”

begawanlaut

THE SUSTAINABILITY FISHERIES MANAGEMENT OF SHARK AND RAY IN INDONESIA UNTIL THE YEAR 2040

Dr. Priyanto Rahardjo, MSc.

RESEARCH CENTRE FOR CAPTURE FISHERIES
AGENCY FOR MARINE AND FISHERIES RESEARCH
MINISTRY OF MARINE AFFAIRS AND FISHERIES

Email : begawanlaut@yahoo.com

Executive Summary:

Shark and ray resources in nusantara water is award for Indonesian nation. Sharks and rays are renewable resources, but if wrong in exploitation and this threatened resources of extinct (collapse), the recovery will require long time and a real expensive cost. Exploiting wisely wise and hardly is required, that this resources can be endowed chronically between generations.
The characteristics biology of shark and ray (elasmobranchii) are slow growing, long lived, sexual matured at the age of relative old and only yields a few pups, nature of like that makes very sensitive shark and ray to fishing pressure ( FAO, 2000). Exploitation of shark and ray fisheries in Indonesia waters haves the character of multi species and multi gear. Remembers the high price of fishery commodity (shark and ray), hence many fishermen hunting sharks and rays as target species. Indonesia fisherman exploits all part of shark and ray, for example meat to consume, fin for export commodity, skin to be tanned, bone for glue material, even as germination inhibitor of ferocious cell in human body.
The major challenge for shark and ray fisheries in Indonesia is how making management model of shark and ray on an ongoing basis, capable to guarantee that continuity of resources this sea can be endowed chronically between generations to 30 year to the fore. While best management opportunity for fishery of shark and ray is applying of management strategy of resources matching with sustainable development principles.

Exploitation of shark and ray

FAO NEWSROOM (7 June 2005) explains many poor residents of world hinges from fish. About 38 percent of all fish is traded internationally. The total world export value for fish and fish products is nearly US$60 billion. Significantly, the volume share of developing countries in fishery exports represent about 55 percent of the total (shark and ray is main commodity). Net receipts of foreign exchange by developing countries through fish trade is now around US$ 17 billion a year, more than they earn from export of tea, rice, coffee together. Is this opportunity or risk? The answer is how applying responsible management is so important.
In January 2007, all five RMFOs ( RFMO, REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANISATION) will meet in Kobe, Japan, for the first time ever to discuss necessary improvements to the fisheries management and trade in fish marine products ( IOTC,CCSBT,WCOFC, ICCAT and IATTC). However, as this briefing highlights, the RMFOs have generally failed to meet their own obligations, as well as those set by the international community to prevent overexploitation of high-seas fish species, rebuild depleted stock, or protect the wider ecosystem. Important issue from this meeting is how applying IPOA-Sharks. Aims to ensure the conservation and management of sharks and their long-term sustainable use. But simply most all member states RMFOs fails in applies IPOA shark.
FAO NEWSROOM (5 March 2007) reports that concern over situation of high-seas fish species. Strengthening fisheries management in international waters “a major challenge”. More than half of stocks of highly migratory sharks as either overexploited or depleted. The global situation of 600 marine fish stocks monitored by FAO are 3% ( under exploited) ; 20 % ( moderately exploited); 52 % ( fully exploited); 17 % ( over exploited); 7% ( depleted); and 1 % ( recovering from depletion).
Shark and ray is one of fish gone out to sea to be a real extraordinary. Shark is excellent swimmer of long distance and is highest predator. Shark and ray in finding along the length of Atlantic ocean, Pacific, Indian Ocean and other ocean. But fishery world of shark and ray experiences a number of problems of public insists on fiishing existence, continuity they and endangers broader ecosystem. The best scientists of world warns, without assertive action, most population of shark and ray will decline at level endangering in one decades. Shark and ray is big business for Indonesian nation, imagines the price of fin to reach 660 US$ per kilogram in Asian marketing. Water territory of Indonesia sea is state which at most catching shark and ray (100 000 tons) with shark product export value equal to US $ 13 million ( FAO, 2000). Fisherman exploits all part of shark and ray, for example flesh to consume, fin for export commodity, skin to be tanned, bone for glue material, even as germination inhibitor of ferocious cell in human body (Irianto, 1993; and Nasran, 1993).
Exploiting of resources fishery of shark and ray in Indonesian water ia has taken place hereditaryly, starts from epoch Majapahit, colonization of Dutch, Japan and hitherto ( after Indonesia independence era). Note of exploiting opening of resources sea fisher in the form of fishery statistic started in the year 1975. Although still limmited, but this very useful statistic as initial step in fisheries management . Based on fishery statistic of Indonesia (1975-2005) shows production of shark and national ray experiences fluctuation ( between 47000 tons to 105000 tons), and highest haul happened in the year 1999 ( 105.000.ton). In general catch per unit effort ( CPUE) indicated degradation from year to year. Since the year 1975 hitherto, fishery statistic of Indonesia notes shark and ray only in two types, while its number of shark and ray species 197 (30 species has been exploited commercially). Fishing activity of shark and ray takes place during the year. Fishing season specifically is not able yet to in determining except based on monthly data produce of fish landed in fishery port. For example, arrest top of shark in Indonesia west is April.
Fishery of shark and ray consisted of having immeasurable fish species ( multi species) and catched by various fishing gear (multi gear) in Indonesia water. Fishing activity of shark and ray ( elasmobrancii) in Indonesia water growed since the year 1970. Although shark and ray is bay catch from various fishing gear, but level of the exploiting have been intensive ( Widodo, 2000). This thing seen from catch per unit effort ( CPUE), and degradation of production ( Fishery Statistic of Indonesia 1975 - 2005). Besides, already happened degradation of biodiversity of resources marked with loss of type Pristidae. The fishing gear shark and ray in number which many are demersal large of bottom gillnet, demersal small of bottom gillnet, trammel net, danish seine, drift gillnet, rays bottom long line, bottom long line, tuna long line), and portable traps.
Till now, exploiting of resources shark and ray in Indonesia good to local consumer and also export still in the form of source of man food. While direction of exploiting result of sea fisher in developed countries allotment at health, pharmacy raw material ( drugs), cosmetic, souvenirs etc. Difference various form of fishr product clearly makes it is having higher level added value if only applied as source of man food.

Potential of shark and ray

As the biggest archipelago country in world, Indonesia continent region ( 1,9 million Km2) spread over at around 17500 of island united by a real sea wide ( around 5,8 million km2). Coastline length encircling continent is around 81000 km, which is longest tropical coastline world or longest both world after Canada. Geographically Indonesia sea lays between Pasific ocean and Indian Ocean, between Asian continents and Australian, included in of presentation of Sunda shelf in part of west and Sahul shelf in part of east. Since the year 2000 seas we are recognized world as the coral triangle believed have potential resources involves is highest in world. Height of the biodiversity not merely because of a real strategic geographical position, but also influenced by various factors like various seasonal climate, current or a period of sea-water influenced two ocean, and variance of habitat type and ecosystem in it. Biodiversity potency in Indonesia ocean region, good in the form of species, ecosystem and genetic is a real asset to support development of Indonesia economics.

Understanding of marine fish potential simple is the many species and number of fish on the sea. For example, for state ASEAN having number of fish species Indonesia ( 3213 species), Philippine ( 2824 species), Malaysia ( 1102 species), and five other ASEAN states has number of fish species under 1000 species. Number of shark and ray species of Indonesia water is estimated to 197 species, and 142 species has been recognized surely, and 30 species has been exploited commercially. The basic question are fishery potential of shark and ray Indonesia alighted from time to time because fishing pressure ? Limited studies about fishery potency of shark and ray Indonesia, however if it is seen from data totally during rearward 30 years, inferential that Indonesia sea fisher potency doesn't change. Mean exploitation pressure of fishing and other factor still be well-balanced with carrying capacity resources fisheries of shark and ray. This thing because of our fisherman majority exploiting it still following responsible fishing method (code of conduct of responsible fishing, FAO). Despite of a minority part our fisherman using equipment destroying area.

In the year 1997 the Indonesia scientist of marine fisheries compromises builds Komisi Nasional Stok Assessment (KNSA) as a mean to evaluates periodical marine fisheries potential. To make moderate and facilitates information, divisible sea fisher potency in nine regions by team KNSA ( Picture 1). This division of course by considering various biodiversity potency aspects in Indonesia sea territory, good in the form of species, ecosystem and genetic. Condition of potency and level of exploiting of resources fishery of the existing shark and ray of indicated that major has not been exploited in an optimal fashion. Region which has in exploiting fully generally at coastal area by middle and small scale fisherman. Location which have been over exploited simply only 15 % from overall of available region. While some other regions has not been exploited optimumly ( Tables 1).

Figure 1. Nine Marine Fisheries Management areas in Indonesia
Remark:
1=Malacca Strait, 2= South China Sea, 3=Java Sea, 4= Flores Sea, 5= Banda Sea, 6= Maluku Sea,7=Celebes Sea and Pacific Ocean, 8=Arafura Sea, 9= Indian Ocean